Sabtu, 26 Desember 2009

Macam-Macam Tauhid

Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dengan beribadah kepadaNya semata. Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini. Allah Subhanahu wata'ala berfirman,

"Dan Aku (Allah) tidah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat: 56)

Maksudnya, agar manusia dan jin mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dalam beribadah dan mengkhususkan kepadaNya dalam berdo'a.

Tauhid berdasarkan Al-Qur'anul Karim ada tiga macam:

1. TAUHID RUBUBIYAH

Yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala adalah Tuhan & mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal perbuatanNya. Seperti mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan lain-lain yang merupakan perbuatan-perbuatan khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang muslim haruslah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam RububiyahNya.

Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah Subhanahu wata'ala berfirman,

"Dan sungguh, jika Kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan mereka', niscaya mereka menjawab,'Allah'." (Az-Zukhruf: 87)

Berbeda dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Dengan demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.


2. TAUHID ULUHIYAH

Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam jenis-jenis peribadatan yang telah disyariatkan. Seperti ; shalat, puasa, zakat, haji, do’a, nadzar, sembelihan, berharap, cemas, takut, dan sebagainya yang tergolong jenis ibadah. Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal-hal tersebut dinamakan Tauhid Uluhiyah ; dan tauhid jenis inilah yang dituntut oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hambaNya. Karena tauhid jenis pertama, yaitu Tauhid Rububiyah, setiap orang (termasuk jin) mengakuinya, sekalipun orang-orang musyrik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasulullah kepada mereka. Macam tauhid uluhiyah inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir. Dan ia ( tauhid uluhiyah ) pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alaihissalam hingga diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam.

Mereka mayakini Tauhid Rububiyah ini, sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka ?’ niscaya mereka menjawab ‘Allah’. Maka bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)” [Al-Zukhruf : 87]

“Artinya : Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai tujuh langit dan mempunyai ‘Arsy yang besar ?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa?” [Al-Mu’minun : 86-87]

Masih banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik meyakini Tauhid Rububiyah. Akan tetapi, sebenarnya yang dituntut dari mereka adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Jika mereka mengikrarkan Tauhid Rububiyah, maka hendaknya juga mengakui Tauhid Uluhiyah (ibadah). Sungguh, Rasulullah (diutus untuk)menyeru mereka agar meyakini Tauhid Uluhiyah. Hal ini disebutkan dalam firmanNya Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut, lalu diantara umat-umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah dipastikan sesat. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul)’ [An-Nahl ; 36]

Dalam banyak suratnya, Al-Qur'anul Karim sering memberikan anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo'a dan meminta hajat khusus kepada Allah semata.

Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman,
"Hanya Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5)

Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdo'a dan kami sama sekali tidak memohon pertolongan kepada selainMu.

Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdo'a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur'an, dan tunduk berhukum kepada syari'at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah,
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha: 14)

Setiap rasul menyeru manusia agar meyakini Tauhid Uluhiyah. Adapun Tauhid Rububiyah, karena merupakan fitrah, maka belumlah cukup kalau seseorang hanya meyakini tauhid ini saja

3. TAUHID ASMA' WA SHIFAT

Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diriNya maupun yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; serta meniadakan kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang ditiadakan oleh Allah terhadap diriNya, dan apa yang ditiadakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa ta'wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), ta'thil (pembatalan, penafian), tamtsil (penyerupaan), tafwidh (penyerahan, seperti yang.banyak dipahami oleh manusia) .

Misalnya tentang sifat al-istiwa ' (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad (tangan), al-maji' (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa' misalnya, menurut keterangan para tabi'in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-'uluw wal irtifa' (tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah Shallallahu'alaihi wasallam. Allah berfirman,
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura: 11)
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan tanpa hal-hal berikut ini:
Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan zhahirnya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (bersemayam di tempat yang tinggi) diartikan istaula (menguasai).

Ta'thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.

Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan sifat-sifat Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di atas 'Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.

Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, "Allah turun ke langit, sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam Muslim.
Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.

Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif (hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa' misalnya berarti al-'uluw (ketinggian), yang tak seorang pun mengetahui bagaimana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya Allah. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah, Rabi'ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua sependapat bahwa, "Istiwa' (bersemayam di atas) itu jelas pengertiannya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah."

Sumber :

[Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan II/17-18. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 1/I/Ramadhan 4123H Hal. 4-5]
Disalin Dari : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=546&bagian=0

AL FIRQOTUN NAAJIYAH, JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT
Oleh : Syaikh Muhammad Jamil Zainu

Tidak ada komentar: